Artikel

Hukum Mengucapkan Selamat Natal (Bag.1)

Oleh: Khabbab Marwan Al-Hamad

Terjemah: Fakhruddin Ahmad Darwis

Artikel ini adalah terjemahan dari sebuah artikel asli yang berbahasa Arab. Penulis yang berkebangsaan Palestina ini, menceritakan dalam artikel ini pengalamannya berdiskusi dengan seseorang sesama warga Palestina tentang masalah boleh tidaknya ikut serta dalam perayaan agama lain dan ucapan selamat hari raya kepada mereka. Artikel ditulis sesuai dengan sudut pandang penulis dalam artikel aslinya.

Pengantar

Aku sampaikan dalam tulisan ini, sebuah kisah nyata yang terjadi antara diriku dan seorang pemuda yang kutemui di sebuah tempat, saat sedang menunggu sebuah urusan untuk waktu yang lama. Pada waktu itu, berlangsung sebuah diskusi panjang, lebih dari satu jam. Diskusi itu penuh dengan tukar pendapat antara aku dan dia. Selain itu, terjadi pula percakapan terpisah, yang terjadi antara aku dengan orang yang berbeda melalui tulisan, yang berkaitan pula dengan masalah ini.

Apa yang aku sampaikan dalam diskusi bersama kedua orang tersebut, aku rangkum dalam tulisan ilmiah ini, dengan beberapa tambahan faidah ilmiah yang diperlukan oleh orang yang mencari kebenaran dalam masalah ini.

Hanya dari Allah lah kami mengharap daya dan upaya, dan hanya Dia lah yang ada dibalik niat kami.

Bagaimana Obrolan Dimulai?

Suatu ketika, aku sedang duduk di sebuah ruang tunggu untuk menyelesaikan sebuah urusan. Masuklah seorang pemuda belia. Dia memulai obrolan tentang dinginnya cuaca, dan turunnya hujan pada hari itu. Aku pun tersenyum lalu berkata padanya, “اللهم سقيا رحمة…Ya Allah, jadikanlah hujan ini rahmat).

Dia berkata, “Cuaca di Betlehem beberapa hari lagi akan menjadi dingin. Mungkin juga akan turun hujan di sana.”

Orang yang disebelahnya bertanya, “Apakah kamu akan pergi ke sana?”

Pemuda itu berkata, “Iya. Aku akan pergi ke sana. Kebetulan hari raya kaum Nasrani sudah dekat. Tidak ada salahnya jika aku ikut serta dalam hari raya mereka dan mengucapkan selamat pada mereka – sambil dia tersenyum lebar-. Mereka itu adalah saudara-saudara kita sesama manusia dan sesama warga negara, maka kita harus turut bergembira dengan kegembiraan mereka.”

Aku berkata, “Nampaknya kamu memang akan pergi ke tempat perayaan mereka. Tapi, apakah kamu ini bercanda atau serius?”. Aku berfirasat bahwa pemuda ini serius dengan ucapannya.

Aku melanjutkan, “Bagaimana bisa kamu ingin pergi ke tempat itu, padahal kamu tahu orang-orang Nasrani itu akan melakukan perayaan khusus untuk hari raya mereka, dan di situ ada syi’ar-syi’ar kesyirikan, khurafat, dan hal-hal haram yang Allah Maha Tahu tentang itu semua?”

“Lalu apakah ikut serta dalam perayaan mereka itu haram?”, kata pemuda itu.

“Para ulama telah menetapkan haramnya membantu mereka dan ikut merayakan hari raya mereka. Siapa yang melakukannya telah berdosa. Siapa yang pergi untuk ke sana sambil meyakini kebenaran agama mereka, mengakui peribadatan mereka, ridha dengan syi’ar-syi’ar mereka, maka itu adalah perbuatan kufur kepada Allah, yang mengeluarkan pelakunya dari agama Islam.”, demikian kataku.

Pemuda itu berkata padaku, “Lalu apa salahnya jika mereka merayakan hari raya mereka? Sebuah yang sudah biasa jika mereka memiliki hari raya. Seperti ungkapan yang biasa diucapkan: ‘Setiap orang yang berada di atas agamanya, Allah pasti akan menolongnya’!”

Aku katakan padanya, “Inilah inti ucapan yang biasa dikatakan oleh orang-orang sesat terdahulu dengan ucapan mereka, ‘Yang disembah adalah satu, meskipun berbeda-beda jalan1. Agama yang benar itu adalah agama Islam. Sedangkan agama-agama selainnya adalah batil, dengan segala ajaran dan bentuknya. Kita meyakini bahwa mereka itu kafir kepada Allah, sebagaimana mereka meyakini hal yang sama terhadap kaum muslimin.”

“Kita menyertai kaum Nasrani di negeri kita ini, dalam hari raya mereka, untuk berbuat baik kepada mereka”

“Tapi, orang-orang Nasrani ini dari negeri kita juga. Maka apa yang menghalangi kita dari dari merayakannya bersama mereka, dan turut merasakan kesusahan, kebahagiaan, dan kesedihan mereka?”, kata pemuda itu padaku.

Aku katakan padanya, “Orang-orang Nasrani di negeri kita ini adalah sekutu kita di negara ini. Mereka juga tetangga kita. Mereka memiliki eksistensi sejarah di negeri kita. Kita dan mereka hidup bersama dengan damai. Bahkan bisa jadi darah mereka bercampur dengan darah kaum muslimin di bawah tekanan penjajah Zionis di Palestina.

Kita tidak terima segala bentuk kezhaliman penjajah Yahudi terhadap mereka (kaum Nasrani). Selama mereka tidak menampakkan permusuhan pada kita, maka kita berbuat baik kepada mereka, berlaku adil, dan menarik hati mereka dengan perlakuan yang baik. Sama dengan yang difirmankan Allah:

لَّا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”2

Maka kita tidak akan menzhalimi mereka. Tidak pula kita terima jika ada yang menzhalimi mereka. Kita juga tidak ridha jika gereja-gereja dan tempat-tempat ibadah mereka dirusak —selama digunakan untuk ibadah—. Jika kita tahu itu terjadi, kita akan berdiri teguh dihadapan orang yang ingin merusaknya. Itu semua tidak berarti kita harus melepaskan pendirian dan ajaran agama kita, lalu turut serta dalam perayaan mereka, bersendagurau bersama mereka, dan masuk ke dalam gereja mereka di hari raya mereka, seolah-olah hal itu adalah sesuatu yang sudah biasa!

Adapun ditampilkannya perayaan mereka di jalan-jalan kaum muslimin, maka sesungguhnya negara Islam tidak memberi mereka kesempatan untuk menampilkan perayaan-perayaan dan salib-salib mereka. Umar bin Khatthab —radhiyallahu ’anhu— telah mensyaratkan kepada kaum Nasrani untuk tidak menampakkan perayaan-perayaan mereka di negeri Islam. Umar menulis dalam suratnya yang masyhur saat menjalin perjanjian dengan kaum Nasrani dari penduduk Syam, dia mensyaratkan pada mereka:

وَأَنْ لاَ نُخْرِجَ شعَانِينًا وَلاَ بَاعُوثًا

“agar kami (kaum Nasrani) tidak menampakkan perayaan Minggu Palma3 dan Minggu Paskah”4

Ini adalah sesuatu yang wajar. Jika kaum Nasrani berhukum dengan Islam, maka mereka tidak dilarang untuk merayakan hari raya mereka. Namun, mereka dilarang untuk menampakkannya. Ini sama dengan larangan bagi mereka untuk menampakkan makan dan minum di jalan-jalan saat kita berpuasa di bulan Ramadhan.

Imam Syafi’i menjelaskan syarat-syarat perjanjian ahlu dzimmah:

وَعَلَى أَنْ لَيْسَ لَكُمْ أَنْ تُظْهِرُوا فِيْ شَيْءٍ مِنْ أَمْصَارِِ المُسْلِمِينَ الصَّلِيبَ وَلاَ تُعْلِنُوْا بِالشِّرْكِ، وَلاَ تَبْنُوا كَنِيْسَةً، وَلاَ مَوْضِعَ مُجْتَمَعٍٍ لِصَلاَتِكُمْ، وَلاَ تَضْرِِبُوا بِنَاقوسٍ، وَلاَ تُظْهِرُوا قَوْلَكُمْ بِالشِّرْكِ فِِيْ عِيْسَى بْنِ مَرْيَمَ، وَلاَ فِيْ غَيْرِِهِِ، لأِحَدٍ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ.

“…dan bahwasanya kalian tidak boleh memperlihatkan salib di manapun dari wilayah kaum muslimin. Dan kalian tidak boleh menampakkan kesyirikan, membangun gereja, membangun tempat berkumpul untuk ibadah kalian, membunyikan lonceng, serta menampakkan ucapan syirik kalian terhadap ’Isa bin Maryam dan yang lainnya di hadapan siapapun dari kaum muslimin.”5

Imam Abu Bakar Al-Kasaniy Al-Hanafiy mengatakan:

لاَ يُمَكّنُوْنَ مِنْ إِظْهَارِ صَلِيْبِهِمْ فِيْ عِيْدِهِمْ، لأِنَّهُ إِظْهَارُ شَعَائِرِ الْكُفْرِ، فَلاَ يُمَكَّنُوْنَ مِنْ ذَلِكَ فِيْ أَمْصَارِ الْمُسْلِمِيْنَ. وَلَوْ فَعَلُوْا ذَلِكَ فِيْ كَنَائِسِهِمْ، لاَ يُتَعَرَّضُ لَهُمْ. وَكَذَا لَوْ ضَرَبُوا النَّاقُوْسَ فِيْ جَوْفِ كَنَائِسِهِمُ الْقَدِيْمَةِ لَمْ يُتَعَرَّضْ لِذَلِكَ، لأِنَّ إِظْهَارُ الشَّعَائِرِ لَمْ يَتَحَقَّقْ. فَإِنْ ضَرَبُوْا بِهِ خَارِجاً مِنْهَا، لَمْ يُمَكَّنُوْا مِنْهُ لِمَا فِيْهِ مِنْ إِظْهَارِ الشَّعَائِرْ

“Mereka (kaum Nasrani) tidak diperbolehkan untuk memperlihatkan salib mereka di hari raya mereka karena itu termasuk menampakkan syiar-syiar kekufuran. Maka, mereka tidak diperbolehkan melakukan itu di negeri-negeri kaum muslimin. Seandainya mereka melakukan itu di gereja-gereja mereka, maka tidak dilarang. Demikian pula jika mereka membunyikan lonceng di dalm gereja-gereja mereka yang sudah tua, tidak dilarang karena tidak termasuk menampakkan syi’ar. Jika mereka membunyikannya di luar gereja, tidak diperbolehkan karena itu termasuk menampakkan syi’ar”6

Imam Al-Hatthab Al-Malikiy mengatakan:

قَالَ اِبْنُ حَبِيْبٍ: يُمْنَعُ الذِّمِّيُّوْنَ السَّاكِنُوْنَ مَعَ الْمُسْلِمِيْنَ إِظْهَارَ الْخَمْرِ وَالْخِنْزِيْرِ، وَتكسر إن ظهرنا عليها، وَيُؤَدَّبُ السَّكْرَانُ مِنْهُمْ. وَإِنْ أَظْهَرُوا صُلُبَهُمْ فِيْ أَعْيَادِهِمْ وَاسْتِسْقَائِهِمْ، كُسِرَتْ وَأُدِّبُوا

“Ibnu Habib7 berkata, ‘Para kafir dzimmi yang tinggal bersama kaum muslimin dilaran untuk memperlihatkan khamr dan babi. Jika kita menemukan itu, harus dihancurkan, dan dihukum orang yang mabuk dari mereka. Jika mereka menampakkan salib-salib mereka di perayaan-perayaan mereka dan ritual meminta hujan yang mereka lakukan, salib-salib itu dihancurkan dan mereka dihukum’8

Pemuda itu pun berkata, “Hukum-hukum ini sudah tidak dipakai lagi, untuk apa disebutkan?!”

Aku katakan, “Kamu memang benar. Kebanyakan negeri kaum muslimin hari ini memang dipimpin dengan hukum-hukum sekuler dan undang-undang susunan manusia, yang sudah merajalela di kampung-kampung kita. Akan tetapi, kita berbicara tentang hukum-hukum syari’at yang mesti kita ketahui, supaya kita tidak melupakannya hanya karena tidak tahan terhadap tekanan realita yang ada!”


  1. Taqiyyuddin Ibnu Taimiyyah, Ahmad bin ’Abdul Halim, Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, jld.25, hlm.323.
  2. Q.S Al-Mumtahanah:8
  3. Hari Minggu Palma adalah perayaan di hari Ahad sebelum Ahad untuk Minggu Paskah.
  4. Al-Baihaqi, Ahmad bin Al-Husain, As-Sunan Al-Kubra, No.19186. Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Sanadnya baik”.
  5. Asy-Syafi’i, Muhammad bin Idris, Al-Umm, jld.4, hlm.210
  6. ’Ala’uddin Al-Kasaniy Al-Hanafiy, Abu Bakar bin Mas’ud bin Ahmad, Badai’ Ash-Shanai’, jld.7, hlm.114.
  7. ’Abdul Malik bin Habib Al-Malikiy, salah satu pembesar madzhab Al-Malikiy di Andalus. Lahir di masa hidup Imam Malik, wafat tahun 283 H.
  8. Al-Hatthab Al-Maliki, Muhammad bin Muhammad bin ’Abdurrahman, At-Taj wa Al-Iklil, jld.4, hlm.206
Sumber
Sumber
Tampilkan Lebih Banyak

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button