Sejarah Ma’had ‘Aliy Al-Aimmah Malang

Latar Belakang

Sejarah MAA dimulai dari Cita-cita untuk mendirikan sebuah pesantren, yang sudah tertanam sejak dulu dalam benak pendiri sekaligus mudir MAA, Dr. KH. Agus Hasan Bashori, Lc., M.Ag.  Dasar yang mendorong terwujudnya cita-cita tersebut adalah keinginan dan harapan dari kakek beliau agar kelak sang cucu bisa mendirikan sebuah pesantren. Pada masa awal beliau berdakwah di masyarakat, beliau memulai membuka lahan dakwah di daerah Pandaan Pasuruan dengan nama Forum Kajian Islam at-Tabi’in (FKIA) pada tahun 1994. Beliau kemudian hijrah ke Kota Malang sejak tahun 2000. Beliau merintis kembali dakwah bersama para da’I yang lain melalui Yayasan  al-Anshar wa al-Muhajirin Malang pada tahun tersebut. Pada tahun 2004, operasional yayasan berhenti sehingga untuk tetap menjaga asset dakwah untuk kepentingan umat, beliau mengganti yayasan menjadi Lembaga Bina Masyarakat (LBM).

Perjalanan dakwah beliau berlanjut pada 2006 dengan menjadi pemimpin redaksi majalah Qiblati sampai Januari 2012. Setelah itu, beliau tidak ada kaitannya lagi dengan Qiblati karena konsentrasi di LBM (Lembaga Bina Masyarakat). Untuk kelancaran dan perkembangan dakwah, beliau meningkatkan badan hukum LBM menjadi YBM (Yayasan Bina al-Mujtama’). Sejak saat inilah beliau mulai fokus dan berazam agar pesantren yang sudah lama dicita-citakan harus diwujudkan. Perkara yang melatarbelakanginya adalah kebutuhan masyarakat terhadap para da’I yang begitu besar, sementara lembaga yang diharapkan menghasilkan generasi masa depan umat Islam telah terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran liberal dan penyimpangan lainnya. Akhirnya sebagai awal pendirian pesantren dipilihlah untuk dibuka Ma’had ‘aliy dengan harapan alumni dari pesantren ini sudah siap untuk terjun berdakwah di tengah masyarakat.

Ma’had ‘aliy yang didirikan diberi nama dengan Ma’had ‘Aliy Al-Aimmah (MAA). Nama ini diambil dengan dua maksud sekaligus, yaitu ke atas dan juga ke bawah. Ke atas maksudnya adalah agar para mahasantri yang belajar nantinya bisa meneladani para imam agama Islam, mulai yang paling agung yakni Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian para imam khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali radhiyallahu ‘anhum), para imam yang empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi’I dan Ahmad) dan semua imam-imam yang telah banyak berjasa kepada agama Islam ini. Adapun maksud ke bawah adalah agar para alumni MAA, kedepan diharapkan juga bisa menjadi para imam di tengah umat Islam, seperti imam dalam lembaga dakwah, imam masjid maupun imam dalam rumah tangga masing-masing.

Berdirinya MAA

Langkah awal pendirian MAA dimulai dengan mengutus Ustadz Abu Sholih Harno untuk belajar mendirikan dan mengelola ma’had ‘ali. Langkah ini diambil oleh Dr. KH. Agus Hasan Bashori, Lc. M.Ag. berdasarkan sebuah filosofi, “jangan memulai langkah dari nol, akan tetapi mulailah dari titik dimana orang lain sudah sampai pada titik tersebut.” Maka diutuslah Ustadz Abu Sholih untuk belajar ke Ma’had ‘Aliy Imam Syafi’I-Cilacap yang sudah berjalan selama 13 tahun lebih dahulu. Amanah yang diemban adalah mempelajari segala sesuatu tentang ma’had ‘aliy semaksimal mungkin dengan minimal waktu selama 3 hari. Alhamdulillah amanah ini bisa terlaksana dengan baik pada hari Kamis – Ahad, tanggal 22 – 25 Maret 2012. Berbekal hasil studi singkat tersebut, maka dengan mantab diputuskan untuk dibuka pendaftaran mahasantri baru angkatan pertama pada bulan itu juga.

Keberadaan MAA semakin bermakna dengan diresmikannya MAA oleh Drs. KH. Husnan Bey Fananie, MA. Staff Khusus Menteri Agama RI pada tanggal 30 Rajab 1433 H / 20 Juni 2012. Acara peresmian tersebut juga dihadiri oleh para penasihat YBM; Kepala Dinas Kominfo Pemerintah Kota Malang, Dra. Tri Widyani P., M.Si. sebagai perwakilan dari Pemerintah Kota Malang; perwakilan Muspika Kecamatan Lowokwaru; asatidz Kota Malang dan dari luar kota Malang, dan undangan lain, baik yang merupakan perwakilan instansi, jama’ah, dan donatur YBM.

Dalam peresmian tersebut, Drs. KH. Husnan Bey Fananie, MA. memberikan taushiah yang luar biasa, Subhanalloh. Temanya adalah “Kuasai Bahasa, Pahami Al-Qur’an dan Sunnah, Sebarkan ke Seluruh Dunia. Tema tersebut terasa sangat pas karena beliau menguasai 5 bahasa dan telah banyak menimba ilmu di luar negeri., diantara taushiahnya beliau berpesan bahwa pesantren dan pendidikan berbasis Islam, merupakan salah satu soko guru dari benteng untuk membendung tsunami peradaban, yang berusaha mengikis nilai-nilai dan norma-norma Islam dari peradaban di Indonesia. Beliau juga berpesan pentingnya gerakan kembali ke Al-Qur’an, kembali menghidupkan tilawah Al-Qur’an, dan gerakan kembali ke masjid, yang bisa dimulai dari keluarga dan anak-anak didik kita.

MAA Tahun I

Tahun I MAA sudah memiliki gedung yang cukup representatif berdiri di atas lahan seluas +- 3.000 m. 2 lokal gedung yang terhubung membentuk huruf L menjadi aset yang cukup berharga. Keduanya juga masih berupa bangunan satu lantai. Satu lokal dimanfaatkan untuk maktabah yang sangat berharga dengan koleksi sekitar 6.000 kitab. Satu lokal lagi terdiri dari 2 ruang yang bisa diperuntukkan sebagai kelas dan asrama mahasantri.

MAA dibuka bersamaan dengan dibukanya SDI Al-Umm dan Radio Al-Umm 102,5 FM. Semuanya berada dalam satu naungan Yayasan Bina al-Muntama’ (YBM). Mengingat SDI Al-Umm menjadi divisi baru yang belum memiliki gedung, maka diputuskan bahwa gedung MAA akan ditempati dahulu oleh SDI Al-Umm. Adapun MAA sendiri pada tahun I ini ditempatkan di lantai 2 Masjid Jami’ Al-Umm. Asrama menempati ruang kamar masjid, sedangkan kelas menempati salah satu sisi ruang sholat lantai 2.

Pemindahan lokasi MAA berakibat pada berkurangnya kapasitas daya tampung mahasantri. Maksimal mahasantri yang bisa diterima untuk angkatan pertama adalah 14 mahasantri. Alhamdulillah kapasitas inipun terpenuhi pada masa pendaftaran sejak dibuka sampai awal masuk waktu pelajaran. Mahasantri baru tersebut berasal dari berbagai daerah seperti Malang Raya, Pasuruan, Mojokerto, Lamongan, Pamekasan, Jakarta, dan Bengkulu.

Motto MAA sejak didirikan adalah untuk mencetak kader da’i dan para hafizh Qur’an. Akan tetapi pada tahun I ini baru program kaderisasi saja yang dibuka. Meskipun demikian, materi tahfizh tetap menjadi prioritas yang diberikan melalui kegiatan halaqah setiap ba’da subuh dan ba’da asar.

MAA Tahun II

Memasuki tahun II MAA sudah bisa kembali menempati gedung yang dimiliki. 1 lokal gedung juga sudah menjadi 2 lantai dan diperuntukkan untuk asrama mahasantri. Adapun kelas menempati menempati ruang di lantai 1. Sedangkan ruang yang sebelumnya difungsikan sebagai asrama mahasantri kemudian diperuntukkan menjadi kamar asatidz dan karyawan YBM yang belum menikah.

Kembalinya MAA ke gedung sendiri berarti menambah daya tampung mahasantri yang diterima. Mahasantri baru angkatan 2 yang diterima mencapai 24 mahasantri. Mereka berasal dari berbagai daerah di Indonesia mulai dari Nangroe Aceh Darussalam (NAD), Kuningan Jawa Barat, Pacitan, Pamekasan, Sampang, Lombok NTB, Bima, dan Papua.

Secara akademis tidak banyak perubahan dari tahun sebelumnya. Program studi dan kurikulum pembelajaran belum banyak mengalami perkembangan dan penyesuaian. Demikian juga tenaga asatidzah dan khidmah juga belum ada perkembangan dari segi jumlahnya.

MAA Tahun III

Tahun ke III belum banyak perkembangan di MAA. Fasilitas fisik masih sama dengan tahun sebelumnya. Sedangkan mahasantri yang diterima juga terbatas sesuai dengan kapasitas yang ada. Mahasantri yang diterima berasal dari Jambi, Sampit-Kalimantan, Bandung, Magelang, Surakarta, Madiun, Pacitan, Ponorogo, Lamongan, Pasuruan, Malang Raya, dan Lombok.

MAA Tahun IV

Tahun ke IV menjadi tahun yang paling sedikit perkembangannya bagi MAA. Mahasantri yang diterima hanya berasal dari Kendal, Bima, Pasuruan, Lombok dan Pandeglang. Bangunan juga belum ada penambahan. Asatidzah dan khidmah juga tidak banyak perubahan.

MAA Tahun V

Tahun ini menjadi tahun terpesat dalam perkembangan MAA. Secara fisik, bangunan lantai 2 untuk satu lokal gedung berhasil diselesaikan. Bangunan baru ini berupa gedung aula berukuran sekitar 15 m x 6 m. Dalam pemanfaatannya, gedung ini mampu menampung mahasantri sebanyak 100 mahasantri lengkap lengkap mejanya. Fasilitas lainnya yang baru bisa dinikmati pada tahun ini adalah tersedianya lapangan futsal permanen yang cukup luas dan representatif.

Program studi yang dibuka juga mengalami perkembangan secara signifikan. Jika 4 tahun sebelumnya baru program i’dad du’at yang dibuka, maka memasuki tahun ke 5 ini dibuka 3 program studi baru. Ketiga program baru tersebut adalah i’dad huffazh, ta’hil huffazh serta diploma tauhid dan ruqyah syar’iyyah.

Program i’dad du’at diperuntukkan bagi mahasantri yang ingin menghafal al Qu’an 30 juz dan bersanad sampai kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Para mahasantri sejak awal akan dididik untuk bisa membaca al Qu’an secara benar sesuai dengan kaidah/riwayat qiroah. Setelah bacaan baik dan benar kemudian akan dipercepat hafalannya sekaligus juga kemantapan hafalan (itqan)nya.

Program ta’hil huffazh diperuntukkan bagi mahasantri yang sudah hafal minimal 20 juz.  Hafalan yang dimiliki kemudian akan disempurnakan dan diberikan ijazah sanad qiroah bagi mahasantri yang telah lulus pengambilan sanad.

Program diploma tauhid dan ruqyah syar’iyyah dibuka untuk mengakomodir kebutuhan umat yang besar terhadap pengobatan syar’i melalui ruqyah syar’iyyah. Program yang hanya ditempuh selama 1 tahun pelajaran ini diharapkan akan menghasilkan para praktisi ruqyah yang memiliki kompetensi keilmuwan yang mumpuni. Dengam bekal tersebut, para alumni akan bisa berkhidmah kepada umat sebagai jawaban dari hajat yang selama ini belum didapat.

Alhamdulillah, perkembangan program studi (prodi) berbanding lurus dengan perkembangan mahasantri yang belajar di MAA. Tercatat ada sebanyak 110 an mahasantri yang belajar di MAA pada tahun ke 5 ini. Mereka tersebar pada prodi yang tersedia. Keberadaan para mahasantri ini menjadikan interaksi di lingkungan MAA semakin dinamis dan menyenangkan.

Tahun ke V ini juga menjadi pertama kalinya MAA menerima mahasantriwati. Sejak didirikan sebenarnya sudah banyak para calon mahasantriwati yang menanyakan ketersediaan kuota bagi mahasantriwati. Akan tetapi mengingat segala keterbatasan di MAA, maka mahasantriwati belum bisa kita terima. Saat ini, mahasantriwati yang bisa mengikuti pendidikan di MAA masih terbatas pada prodi Diploma Tauhid dan Ruqyah Syar’iyyah. Yang prodi tersebut memang diperuntukkan bagi mahasantri/wati yang tidak tinggal di dalam makhad.

Mahasantri MAA pada tahun ke 4 juga semakin beragam daerah asalnya. Mereka berasal dari Nangroe Aceh Darussalam, Asahan Sumut, Medan, Riau, Jambi, Bengkulu, Bogor, Kuningan, Magelang, Nganjuk, Kediri, Pasuruan, Blitar, Trenggalek, Tulungagung, Malang Raya, Jember, Situbondo, Bondowoso, Lamongan, Bali, dan Lombok. Jika pada tahun ke 2 kami menerima mahasantri dari Malaysia, maka pada tahun ke 5 ini kami juga menerima mahasantri dari Kamboja dan Libya. Mereka saat sejarah ini ditulis masih menyelesaikan urusan keimigrasian. Semoga bisa segera selesai dan dapat mengikuti pendidikan di MAA dengan tenang.

MAA ke Depan

Perkembangan MAA di masa yang akan datang masih sangat diperlukan. Untuk tahun ke VI sudah menjadi keharusan untuk menyediakan fasilitas asrama dan kelas tambahan untuk menampung mahasantri angkatan ke II dari prodi-prodi yang baru dibuka. Fasilitas laboratorium juga membutuhkan penyempurnaan dan penyediaan ruangan yang lebih layak.

Adapun program studi yang masih banyak ditunggu adalah program pesantren mahasiswa. Program ini banyak dibutuhkan oleh para mahasiswa yang menempuh studi di berbagai perguruan tinggi di Malang Raya sambil juga ikut belajar agama di pesantren. Untuk mewujudkan program ini dibutuhkan perluasan area ma’had gedung tersendiri dan juga pengelola yang mumpuni.

Cita-cita yang sudah impian sejak mendirikan MAA adalah menjadikan MAA sebagai salah satu perguruan tinggi islam di Kota Malang yang dapat meluluskan para sarjana yang siap berkhidmat dalam memperbaiki umat dan masyarakat. Dalam merealisasikannya masih dibutuhkan banyak persiapan. Ketersediaan lahan perlu diperluas, SDM pengajar yang memenuhi kualifikasi perlu diperbanyak, gedung perkantoran dan perkuliahan perlu dilengkapi, serta modal jaminan pendirian juga perlu disediakan.

Ditulis oleh: Abu Sholih Harno P., S.P., M.PI

(Diselesaikan di Tol Cipali KM 90 dalam perjalanan mengiringi Sidang Terbuka dan pengukuhan doktor Mudir MAA, KH. Agus Hasan Bashori, Lc., M.Ag tanggal 24 Muharram 1438 H / 26 Oktober 2016 M.)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button