Budaya Literasi Ulama
Akhir-akhir ini, kita sering mendengar dan membaca tentang istilah “literasi”, baik itu di media cetak, media elektronik maupun di media sosial. Bahkan pada tahun 2016, pemerintah —dalam hal ini Kemendikbud— membentuk sebuah gerakan yang dinamakan dengan Gerakan Literasi Nasional (GLN) sebagai bagian dari implementasi dari Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti.
Nah, sekarang apa sih literasi itu? Dalam bahasa Latin, istilah literasi disebut sebagai literatus, artinya adalah orang yang belajar1. Merujuk ke Kamus Besar Bahasa Indonesia, literasi adalah kemampuan membaca dan menulis2. Senada dengan itu, National Institute for Literacy (sebuah lembaga nasional di AS yang misinya adalah pengembangan tingkat literasi penduduk AS) menjelaskan bahwa literasi adalah kemampuan seseorang untuk membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian yang diperlukan dalam pekerjaan, keluarga dan masyarakat1. Banyak pakar yang memberikan komentar mengenai literasi bahkan dalam konteks yang lebih luas. Terutama dalam tiga dekade terakhir, makna dan cakupannya berkembang bukan hanya terkait dengan keaksaraan. Dalam buku panduan GLN Kemendikbud, dicantumkan bahwa dimensi literasi mencakup enam hal : literasi baca tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi finansial, literasi budaya dan kewargaan3. Seiring dengan perkembangan zaman, maka cakupan literasi pun akan semakin luas. Termasuk literasi teknologi yang mengharuskan masyarakat untuk meningkatkan kemampuan dalam mengetahui dan memahami hal-hal yang berhubungan dengan teknologi, mengerti cara menggunakan internet, serta memahami etika dalam menggunakan teknologi4.
Perkembangan literasi saat ini tidaklah terlepas dari pengaruh literasi orang-orang terdahulu, termasuk ulama dan ilmuwan muslim. Oleh karena itu, tulisan ini akan memaparkan secara singkat bagaimana budaya literasi para ulama dan ilmuwan muslim terdahulu atau yang biasa disebut dengan ulama salafusshalih.
Para ulama salaf sangat besar perhatiannya terhadap kegiatan membaca dan menulis. Buktinya hari ini, kita bisa menikmati dan mengambil banyak faedah dari karya-karya mereka. Mulai dari kitab-kitab ilmu syar’i seperti aqidah, fiqih, ushul fiqih, dan hadits. Begitupun juga dengan kitab-kitab sains dan bahasa. Mengapa mereka sangat perhatian dengan kegiatan membaca dan menulis? Karena keduanya adalah wasilah untuk mendapatkan ilmu. Sedangkan mereka adalah yang paling mengetahui keutamaan ilmu, khususnya ilmu syar’i. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah bersabda:
مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِى الدِّينِ
“Barangsiapa yang Allah kehendaki mendapatkan seluruh kebaikan, maka Allah akan memahamkan dia tentang agama.” [HR. Bukhari no. 71 dan Muslim No. 1037]
Cukuplah hadits ini menunjukkan betapa besarnya keutamaan orang yang berilmu (ilmu agama) meskipun masih banyak hadits lain yang menjelaskan keutamaannya. Sekarang mari kita melihat bagaimana potret literasi ulama salaf yang dirangkum dari berbagai sumber.
Ulama salaf
- Ibnul Jauzi (w. 597 H) membaca 200.000 jilid buku.
Dalam Shaid Al-Khatir Ibnul Jauzi menceritakan tentang kebiasaannya dalam membaca,”Aku tidak pernah kenyang membaca buku. Jika menemukan buku yang belum pernah aku lihat, maka seolah-seolah aku mendapatkan harta karun. Aku pernah melihat katalog buku-buku waqaf di madrasah An-Nidhamiyyah terdiri dari 6.000 jilid buku. Aku juga melihat katalog buku Abu Hanifah, Al-Humaidi, Abdul Wahhab bin Nashir dan yang terakhir Abu Muhammad bin Khasysyab. Aku pernah membaca semua buku tersebut serta buku lainnya. Aku pernah membaca 200.000 jilid buku lebih. Sampai sekarang aku masih terus mencari ilmu”5 - Abul Barakat tetap belajar meski di dalam toilet.
Ibnul Qayyim dalam bukunya Raudhah Al-Muhibbin menuturkan bahwa Abdurrahman Ibnu Taimiyah; Ahmad Ibnu Taimiyah meriwayatkan dari bapaknya, Abdul Halim, dia berkata,”Dahulu kakekmu (Abul Barakat), apabila mau masuk toilet untuk buang hajat, maka beliau menyuruhku untuk membacakan suatu buku dengan bacaan yang keras agar bisa mendengar”.Dikatakan bahwa beliau adalah sandaran ilmu, bagaikan matahari6. - Al-Muntashir Billah (pemimpin Andalusia) mengoleksi 200.000 ribu buku.
Adz-Zahabi dalam Siyar ‘Alam An-Nubala menyebutkan biografi Al-Muntashir Billah Abul Ash Al Hakam bin Abdurrahman Al-Umawi, pemimpin Andalus, “Dia adalah orang yang mengukir riwayat hidupnya dengan indah, penuh dengan keutamaan. Dia memiliki kecintaan mendalam untuk membaca serta memburu buku-buku berkualitas dan bermutu, baik yang benar ataupun yang salah. Beliaupun memperoleh sekitar 200.000 buku.”Beliau selalu membelanjakan emasnya sekedar untuk mendapatkan buku-buku, lalu membayarnya sesuai harga yang ditawarkan penjualnya.7 - Al-Jahizh menyewa toko buku dan kertas.
Dalam bukunya Irsyad Al-Arabi Yaqut Al-Hamawi menyebutkan dalam biografi Al-Jahizh bahwasanya Abu Hiffan pernah menuturkan,”Aku tidak pernah melihat atau mendengar seorang pun yang paling mencintai buku maupun ilmu dari pada Al-Jahizh, tidak satupun buku yang beliau pegang kecuali beliau selesaikan membacanya walau bagaimanapun keadaannya. Hingga beliau sempat menyewa beberapa toko buku dan kertas. Kemudian bermalam di sana untuk sekedar membaca…”8 - Hasan Al-Lu’lua, 40 tahun tidur bersama buku.
Al-Hafizh jahizh dalam bukunya Al-Hayawan menuturkan bahwasanya Hasan Al-Lu’luai berkata,”Selama 40 tahun, aku tidak tidur siang ataupun tidur malam, serta tidak beristirahat sambil bersandar kecuali ada sebuah buku yang tergelatak di atas dadaku.”9 - Abdul Ghani matanya kabur karena rajin membaca.
Abu Syamah Al-Maqdisi bercerita tentang Abdul Ghani dalam bukunya Dzail Ar-Raudhatain beliau berkata,”Penglihatannya menjadi kabur karena terlalu banyak membaca dan menangis. Dia adalah satu-satunya pakar ilmu hadits pada zamannya.”10 - Ismail bin Zaid menulis 70 lembar dalam semalam.
As-Sahmi di dalam Tarikh Jurjan menuturkan,”Aku pernah mendengar Abu Bakr Al-Ismaili dan Abu Hammad bin Adi berkata, Ismail bin Zaid, sang pemburu hadits, pernah menulis semalam suntuk 70 lembar catatan yang rinci.”11 Beliau menulis 70 lembar berarti sama dengan 140 halaman hanya dalam semalam. - Ahmad bin Abduddaim (w.668 H) menulis 2000 jilid buku.
Dalam kitab Ad-Dzail tentang biografi Ahmad bin Abduddaim Al Maqdisi disebutkan bahwa beliau dalam sehari bisa menulis 9 buku atau lebih dan jika dalam keadaan sibuk beliau bisa menulis 5 buku. Beliau juga pernah menyebutkan bahwa dirinya pernah menulis sekitar 2.000 jilid buku. Beliau menekuni tulis menulis selama 50 tahun.12 - Abul Faraj bin Al-Jauzi (w. 597 H) menulis 4 buku dalam sehari.
Ibnu Rajab dalam Dzail Ath-Thabaqat menceritakan biografi Abul Faraj bin Al-Jauzi, seorang penulis buku, bahwa beliau tidak pernah menyia-nyiakan waktu. Dalam sehari beliau mampu menulis 4 buku, dan setiap tahun jumlah bukunya bertambah sekitar 50-60 jilid buku.13?redirect_to=http%3A%2F%2Faimmah.ac.id%2Fwp-admin%2F&reauth=1Ibnul Jauzi (w. 597 H) membaca 200.000 jilid buku.
Dalam Shaid Al-Khatir Ibnul Jauzi menceritakan tentang kebiasaannya dalam membaca,”Aku tidak pernah kenyang membaca buku. Jika menemukan buku yang belum pernah aku lihat, maka seolah-seolah aku mendapatkan harta karun. Aku pernah melihat katalog buku-buku waqaf di madrasah An-Nidhamiyyah terdiri dari 6.000 jilid buku. Aku juga melihat katalog buku Abu Hanifah, Al-Humaidi, Abdul Wahhab bin Nashir dan yang terakhir Abu Muhammad bin Khasysyab. Aku pernah membaca semua buku tersebut serta buku lainnya. Aku pernah membaca 200.000 jilid buku lebih. Sampai sekarang aku masih terus mencari ilmu”5 - Abul Barakat tetap belajar meski di dalam toilet.
Ibnul Qayyim dalam bukunya Raudhah Al-Muhibbin menuturkan bahwa Abdurrahman Ibnu Taimiyah; Ahmad Ibnu Taimiyah meriwayatkan dari bapaknya, Abdul Halim, dia berkata,”Dahulu kakekmu (Abul Barakat), apabila mau masuk toilet untuk buang hajat, maka beliau menyuruhku untuk membacakan suatu buku dengan bacaan yang keras agar bisa mendengar”.Dikatakan bahwa beliau adalah sandaran ilmu, bagaikan matahari6. - Al-Muntashir Billah (pemimpin Andalusia) mengoleksi 200.000 ribu buku.
Adz-Zahabi dalam Siyar ‘Alam An-Nubala menyebutkan biografi Al-Muntashir Billah Abul Ash Al Hakam bin Abdurrahman Al-Umawi, pemimpin Andalus, “Dia adalah orang yang mengukir riwayat hidupnya dengan indah, penuh dengan keutamaan. Dia memiliki kecintaan mendalam untuk membaca serta memburu buku-buku berkualitas dan bermutu, baik yang benar ataupun yang salah. Beliaupun memperoleh sekitar 200.000 buku.”Beliau selalu membelanjakan emasnya sekedar untuk mendapatkan buku-buku, lalu membayarnya sesuai harga yang ditawarkan penjualnya.7 - Al-Jahizh menyewa toko buku dan kertas.
Dalam bukunya Irsyad Al-Arabi Yaqut Al-Hamawi menyebutkan dalam biografi Al-Jahizh bahwasanya Abu Hiffan pernah menuturkan,”Aku tidak pernah melihat atau mendengar seorang pun yang paling mencintai buku maupun ilmu dari pada Al-Jahizh, tidak satupun buku yang beliau pegang kecuali beliau selesaikan membacanya walau bagaimanapun keadaannya. Hingga beliau sempat menyewa beberapa toko buku dan kertas. Kemudian bermalam di sana untuk sekedar membaca…”8 - Hasan Al-Lu’lua, 40 tahun tidur bersama buku.
Al-Hafizh jahizh dalam bukunya Al-Hayawan menuturkan bahwasanya Hasan Al-Lu’luai berkata,”Selama 40 tahun, aku tidak tidur siang ataupun tidur malam, serta tidak beristirahat sambil bersandar kecuali ada sebuah buku yang tergelatak di atas dadaku.”9 - Abdul Ghani matanya kabur karena rajin membaca.
Abu Syamah Al-Maqdisi bercerita tentang Abdul Ghani dalam bukunya Dzail Ar-Raudhatain beliau berkata,”Penglihatannya menjadi kabur karena terlalu banyak membaca dan menangis. Dia adalah satu-satunya pakar ilmu hadits pada zamannya.”10 - Ismail bin Zaid menulis 70 lembar dalam semalam.
As-Sahmi di dalam Tarikh Jurjan menuturkan,”Aku pernah mendengar Abu Bakr Al-Ismaili dan Abu Hammad bin Adi berkata, Ismail bin Zaid, sang pemburu hadits, pernah menulis semalam suntuk 70 lembar catatan yang rinci.”11 Beliau menulis 70 lembar berarti sama dengan 140 halaman hanya dalam semalam. - Ahmad bin Abduddaim (w.668 H) menulis 2000 jilid buku.
Dalam kitab Ad-Dzail tentang biografi Ahmad bin Abduddaim Al Maqdisi disebutkan bahwa beliau dalam sehari bisa menulis 9 buku atau lebih dan jika dalam keadaan sibuk beliau bisa menulis 5 buku. Beliau juga pernah menyebutkan bahwa dirinya pernah menulis sekitar 2.000 jilid buku. Beliau menekuni tulis menulis selama 50 tahun.12 - Abul Faraj bin Al-Jauzi (w. 597 H) menulis 4 buku dalam sehari.
Ibnu Rajab dalam Dzail Ath-Thabaqat menceritakan biografi Abul Faraj bin Al-Jauzi, seorang penulis buku, bahwa beliau tidak pernah menyia-nyiakan waktu. Dalam sehari beliau mampu menulis 4 buku, dan setiap tahun jumlah bukunya bertambah sekitar 50-60 jilid buku.13
Ulama masa kini
- Asy-Syaikh Al-Allamah Jamaludin Al-Qasimi Ad-Dimasyqi (w. 1332. H).
Muhammad bin Nashir Al-Ajmi ketika mentahqiq kitab Adabud Daaris wal Mudarris menuliskan biografi Asy-Syaikh Al-Allamah Jamaluddin Al-Qasimi, beliau mengatakan,”Aku menyelesaikan membaca shahih muslim dengan secara sempurna baik secara riwayah maupun dirayah selama 40 hari, membaca sunan Ibnu Majah selama 21 hari, membaca Al-Muwatho selama 19 hari dan membaca Taqrib At-Tahdzib selama 10 hari.14 Beliau berkata,”Sesungguhnya satu buku yang dicetak lebih baik daripada 1000 da’i dan khotib, karena buku akan dibaca oleh teman maupun lawan”. Syaikh berpendapat bahwa buku yang ditulis kemudian dicetak akan dibaca oleh siapa saja baik itu teman maupun lawan. Sedangkan da’i dan khotib hanya akan didengarkan oleh kawannya atau orang yang menyenanginya saja pada saat berceramah.15 - Syaikh Ali Thanthawi (w. 1420 H).
Syaikh yang pernah menginjakkan kakinya di Nusantara pada tahun 1954 M ini sangat kagum dengan suasana alam di Indonesia. Shuwaru Minasy Syirqi fii Induniisiya (Persepsi dari Timur di Indonesia) adalah kitab yang menggambarkan kekagumannya dengan menyifati Pulau Jawa seperti surga dunia. Dalam salahsatu babnya Yaumun fil Jannah (sehari di surga) bercerita ketika beliau mengelilingi pulau Jawa menggunakan kereta api dari Jakarta hingga Surabaya. Syaikh berkata,”Sesungguhnya saya tidak mengira bahwa saya akan melihat atau mendengar bahwa di dunia ini ada jalan yang lebih indah darinya”.16
Dalam bukunya Adz-Dzikrayat menyebutkan bahwa kecintaannya dalam membaca telah muncul sejak kecil, yaitu ketika masih berada di madrasah ibtidaiyyah tanpa arahan atau didikan seorang guru atau pembimbing. Beliau berkata,”Aku hari ini adalah aku yang kemarin. Sebagaimana dahulu ketika aku masih kecil, aku menghabiskan hari-hariku di dalam rumah untuk membaca. Dahulu aku pernah membaca 300 lembar dalam sehari. Sedangkan kalau dirata-rata aku membaca 100 lembar tiap harinya, yaitu sejak tahun 1340–1402 H…”Meskipun sibuk, beliau tetap membaca 200-300 lembar dalam sehari.17
Masih banyak lagi potret literasi ulama lainnya. Artikel ini tidak akan bisa memuat seluruh kisah ulama tersebut. Diantara ulama saat ini yang menghimpun kisah-kisah ulama salafus saleh adalah Syaikh Ali bin Muhammad Al-Imran dalam kitabnya Al-Musyawwiq Ila Al-Qira’ah wa Thalab Al-Ilm. Membacanya akan membuat kita merasa takjub sekaligus merasa malu. Takjub karena kesungguhan mereka dalam membaca, menulis, dan menuntut ilmu kemudian malu karena kita tidak bisa seperti mereka. Dimana posisi kita diantara para ulama tersebut ?Ada sebuah ungkapan “read or die” artinya membaca atau mati, maksudnya adalah pilih membaca atau jika tidak maka kamu akan mati. Membaca adalah asupan bagi jiwa/ruh sehingga seseorang yang tidak membaca maka ia akan kekurangan asupan yang dapat menyebabkan kematian jiwa. Syaikh Al-Utsaimin dalam Kitabul Ilmi menghimbau kepada para penuntut ilmu untuk bersungguh-sungguh dalam membaca dan mengoleksi kitab. Beliau mengatakan bahwa kitab itu ada tiga macam yaitu kitab yang baik, kitab yang jelek, dan kitab yang tidak baik dan tidak jelek. Penuntut ilmu harus bersungguh-sungguh mengumpulkan kitab yang mengandung kebaikan dan menjauhi kitab yang di dalamnya terkandung kejelekan. Kitab yang jelek akan memberikan mudharat dan bisa meneyebabkan penyimpangan yang besar dari manhaj penuntut ilmu yang benar.18 Kegiatan literasi bukan hanya untuk memenuhi rasa penasaran terhadap ilmu atau menambah ilmu, tapi ia merupakan salahsatu adab yang harus menghiasi kehidupan penuntut ilmu. Hal itu bisa dilihat bagaimana ulama salaf sering membaca satu kitab berulang-ulang meskipun ia sudah mengusai dan menghafalnya. Abu Bakr bin Athiyyah pernah membaca Shahih Bukhari sebanyak 700 kali,19 Imam Abu Bakr Al-Abhari (w. 375 H) membaca Mukhtashar Ibn ‘Abdil Hakam 500 kali,20 Imam Al Faqih Yahya bin Abu Al-Khair Al-Imrani (w. 558 H) menelaah kitab Az-Zawaid Ala Al-Muhadzdzab lebih dari 40 kali.21 Demikian potret singkat literasi ulama salaf semoga bisa memberikan manfaat meskipun belum bisa menggambarkan secara keseluruhan. Kita memohon kepada Allah agar memberikan tauifik-Nya sehingga kita bisa meneladani para ulama salaf rahimahumullahu jami’an. Asy-Syaikh Al-Allamah Jamaludin Al-Qasimi Ad-Dimasyqi pernah mengatakan,”Ketika saya berpisah dari pena dan kitab, maka saya melihat diri saya bagaikan ikan yang berpisah dari air.”22
Ditulis oleh Rahmat Jahar, mahasantri tahun ke-2 Ma’had ‘Aliy Al-Aimmah Malang.
- https://id.wikipedia.org/wiki/Literasi [↩] [↩]
- Kamus Besar Bahasa Indonesia [↩]
- Buku Panduan Gerakan Literasi Nasional (GLN) Kemendikbud, 6 [↩]
- https://www.maxmanroe.com/vid/umum/arti-literasi-adalah.html [↩]
- Gila Baca ala Ulama, Potret Keteladanan Ulama dalam Menentut Ilmu (terjemahan), Ali bin Muhammad Al-Imran, 54 [↩] [↩]
- Ibid., 59 [↩] [↩]
- Ibid. 70 [↩] [↩]
- Ibid., 72 [↩] [↩]
- Ibid., 75 [↩] [↩]
- Ibid., 76 [↩] [↩]
- Ibid., 143 [↩] [↩]
- Ibid., 144 [↩] [↩]
- Ibid., 145 [↩] [↩]
- Adaabud Daaris wal Mudarris, Asy-Syaikh Al-Allamah Jamaludin Al-Qasimi Ad-Dimasyqi, 13 [↩]
- Ibid., 14 [↩]
- Shuwarun Minasy Syarqi fii Induniisiya, Syaikh Ali Thanthawi, 91 [↩]
- Gila Baca ala Ulama, Potret Keteladanan Ulama dalam Menentut Ilmu (terjemahan), Ali bin Muhammad Al-Imran, 92 [↩]
- Panduan Lengkap Penuntut Ilmu (terjemahan), Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, 107 [↩]
- Gila Baca ala Ulama, Potret Keteladanan Ulama dalam Menentut Ilmu (terjemahan), Ali bin Muhammad Al-Imran, 123 [↩]
- Ibid., 130 [↩]
- Ibid., 128 [↩]
- Adaabud Daaris wal Mudarris, Asy-Syaikh Al-Allamah Jamaludin Al-Qasimi Ad-Dimasyqi, 18 [↩]