Kabar

Petualangan Menuju Pantai Tiga Warna

1_rihlah_aimmahRabu (17/5), dini hari itu kami -mahasantri Ma’had ‘Aliy Al-Aimmah- bangun serempak pada pukul 03:00 WIB. Tak seperti biasanya memang, karena hari itu adalah hari yang akan menjadi penuh dengan cerita. Ya, kami belakan bangun pagi hanya untuk menikmati dan mentadabburi ayat-ayat kauniyah Allah Subhanallah wa Ta’ala yang ada di alam ini.

Adalah Pantai Tiga Warna yang menjadi destinasi utama kami. Setelah sholat malam dan sarapan shubuh kami segera bergegas untuk bersiap-siap menuju tempat idaman itu. Tak lama setelah itu, kami berkumpul di halaman ma’had sembari menggigil melawan dinginnya hawa waktu itu.

Setelah mendapatkan wejangan dari mudir ma’had, Ust. Agus Hasan Bashori, Lc,M.Ag. kami pun dibagi menjadi empat kelompok. Kelompok pertama adalah Ust. Agus Hasan Bashori, Lc,M.Ag. dan putranya akh. Hamzah, Ust. Ziyad at-Tamimi, S.Th.I., M.H.I., Ust. Sulaiman Yusuf, Mas Mahendra, akh. Hamdan, akh. Wahyu, dan akh. Gunawan. Kelompok kedua adalah Ust. Jihad Amrullah, S.Pd.I., Pak Abu Zakaria Imbang, akh. Anwar, akh. Saiful, akh. M. Fattahuddin, akh. Khoirul Ahmad, dan akh. Ali. Sedangkan kelompok ketigayaitu Ust. Abu Sholih, SP. M.PI., Ust. Fakhruddin Ahmad Darwis, Lc., Ust. Danang Santoso, akh. Munibi, akh. Abd. Rosyid, akh. Rudi, akh. Alfan, akh. Manshur, akh. Mustajib, dan akh. Rusnan. Dan terakhir kelompok keempat yakni Ust. Saifullah al-Hafizh, akh. Soepardi, akh. Yusuf, Akh. Hanafi, akh. M. Nafi’, akh. Rijal, dan akh. Sulaiman.

Keempat kelompok itu berangkat bersamaan sebelum fajar shodiq menyingsing, sebelum akhirnya tiba waktu shubuh. Dan kami pun menunaikan Sholat Shubuh berjama’ah di sebuah masjid yang tersohor dengan masjid Krebet di daerah Gadang. Setelah itu, kami pun beranjak dari masjid dengan disambut penjual roti goreng yang cocok untuk menghangatkan perut yang sedari dini hari kedinginan. Akhirnya kami pun
tergoda untuk membelinya. Dan rasa dingin pun sirna terkikis roti goreng yang hangat nan lezat.

2_rihlah_aimmahUntuk perbekalan rihlah lainnya, tak ketinggalan yang harus dipenuhi adalah bahan bakar kendaraan yang kami tumpangi. Kami pun singgah di sebuah SPBU di daerah Sedayu-Turen, sekaligus istirahat dan menunaikan hajat. Sementara para mahasantri yang lain mengambil kesempatan untuk berfoto bersama di sana. Ada juga yang sibuk dengan gadgetnya masing-masing. Sedangkan para ustadz berbincang-bincang di tempat lain.

Tak hanya itu, berhubung tempat kami beristirahat itu dekat dengan rumah Ust. Saifullah al-Hafizh , maka beliau pun menyengaja mampir ke rumahnya. Beberapa menit kemudian, beliau tiba sambil menjinjing sekantong kresek besar dengan tergopoh-gopoh karena beratnya isi di dalamnya yang ternyata adalah buah jeruk. Sehingga membuat kami senang dan semakin banyaklah bekal kami.

Mobil Mogok

4_rihlah_aimmahSetelah kami merasa cukup untuk istirahat, dengan serempak para rois (ketua) kelompok pun menancap gas mobil masing-masing dengan cekatan. Sampai pada pertengahan jalan yang menanjak nan berkelok-kelok, rois kelompok empat -Ust. Saifullah al-Hafizh– bertanya keheranan, “Lho kok setirnya terasa lebih berat ya? Remnya juga? Apa karena tadi saya bawa jeruk yang berat itu ya?” Sejalan dengan itu, mereka pun merasa memang semakin berat tarikan remnya. Karena merasa khawatir, akhirnya beliau meminta akh. Soepardi untuk menghubungi kelompok lain agar memperlambat laju kecepatan mobilnya via handy talky. Setelah mereka mengikuti aba-aba dari beliau, tiba-tiba muncullah asap di bagian kap mobil. Anggota kelompok empat pun panik, sambil menghubungi kelompok lain untuk menolong mereka. Sebab rupanya mereka tertinggal cukup jauh dari yang lainnya. Sementara Ust. Saifullah al-Hafizh terlihat tenang menghadapi masalah ini.

Mereka pun mencoba membantu sebisanya. Begitu pun beliau berusaha mencari tahu apa penyebab dari munculnya asap tersebut. Setelah berusaha memecahkan masalahnya, akhirnya mereka menyerah. Karena memang mereka kurang begitu paham. Kemudian dengan sigap rois kelompok dua –Pak Abu Zakaria Imbang- menancapkan gas mobilnya ke arah di mana mobil mereka mogok. Sedangkan beliau tetap berusaha menenangkan mahasantrinya dengan mengutip ayat ke-44 dari surat an-Nahl yang artinya: “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”.Kemudian mengingatkan mereka bahwa mungkin di antara mereka ada yang lupa berdo’a.

Akhirnya bantuan pun datang, dengan usaha mencari5_rihlah_aimmah bengkel dan diperbaiki oleh montir. Sementara anggota kelompok empat naik angkot menuju tempat tujuan. Namun, kejadian itu rupanya bukan hanya menimpa mereka saja. Akan tetapi juga menimpa kelompok tiga. Mobil yang mereka tumpangi juga mengeluarkan asap seperti kelompok empat. Namun, tidak sampai harus dibawa ke bengkel. Akhirnya rois kelompok tiga -Ust. Abu Sholih, SP. M.PI.- memutuskan untuk mengurangi muatan dengan menurunkan empat orang anggotanya yaitu Ust. Danang, akh. Munibi, akh. Alfan, dan Akh. Gunawan. Dan Kelompok empat pun tertawa karena mereka pun bernasib sama.

Diawali dengan Do’a

6_rihlah_aimmahSingkat cerita, akhirnya sampailah di gerbang tempat rihlah tersebut. Namun sebelum melanjutkan perjalanan, kami berkumpul untuk menyimak kembali nasihat mudir ma’had Ust. Agus Hasan Bashori, Lc. M.Ag. agar senantiasa berdo’a setelah kejadian tadi. Kami dibimbing agar selalu peduli pada sesama saat perjalanan nanti. Dan diawali dengan do’a kami melanjutkan perjalanan dan ternyata harus menyusuri jalan yang terjal dan berbukit-bukit.

Sesampainya di pos utama tempat wisata itu, kami disambut oleh para tour guide dengan senyuman ramah mereka. Maka kami pun membalasnya dengan salam. Kami diarahkan untuk selalu menjaga lingkungan di sana. Dan yang lebih membuat kami takjub adalah saat satu per satu di antara kami ditanya mengenai jumlah barang yang berpotensi menjadi sampah. Tak heran jika sang tour guide tersebut mengabsen barang-barang yang dimaksud. Di antaranya yaitu kantong plastik, plastik makanan ringan, botol air mineral, bungkus shampo sachet-an dan sabun mandi, serta bahan lainnya. Tidak cukup sampai di situ, kami pun diingatkan agar jangan sampai membuangnya di selain pos tersebut. Karena nanti pada waktu pulang akan dicek ulang sampah-sampah yang diabsen tadi.

Menyeberang Rawa Mangrove

7_rihlah_aimmahSetelah itu, kami melanjutkan perjalanan dengan ditemani oleh tiga orang tour guide. Dengan sigap mereka mengarahkan kami menuju lokasi. Karena kami memilih jalur full track, maka kami pun harus melewati rintangan-rintangan yang belum pernah kami duga sebelumnya. Petualangan pun dimulai. Sang tour guide menjelaskan bahwa untuk menuju Pantai Tiga Warna kita akan melalui lima pantai lainnya yaitu, Pantai Clungup, Pantai Gatra, Pantai Savana, Pantai Mini, Pantai Batu Pecah, dan baru berakhir di Pantai yang kami nanti-nantikan, Pantai Tiga Warna. Kami pun dengan semangat mengikuti petunjuknya. Namun, sebelum sampai di pantai pertama -Pantai Clungup- ternyata kami harus melewati rintangan yang seru yaitu menyeberang rawa. Di sana kami menyeberangi rawa dengan tetumbuhanmangrove yang tertanam apik. Yang jika waktu pagi ternyata air laut pasang hingga ukuran di atas lutut orang dewasa. Dan akan surut kembali pada siang harinya. Sontak saja kami pun terkejut keheranan. Dan sebelum kami menyeberang rawa, kami menyingsingkan celana bahkan sebagian dari kami harus mengganti celananya lantaran tidak cocok untuk medan seperti itu.

Setelah ada seorang petani yang menyeberang rawa sambil memikul seikat rumput untuk pakan hewan ternaknya, kami pun termotivasi untuk menyeberang. Rasa khawatir akan hewan berbahaya tiba-tiba hinggap pada awal kali kami menyeberang. Namun, pada pertengahan rawa malah menikmatinya sebab ini merupakan pengalaman pertama kali bagi kami. Bahkan karena saking senangnya kami sempat mengabadikan suasana di tengah rawa tersebut dengan kamera smart phone.

Medan rawa pun akhirnya berhasil kami lalui. Dengan hentakkan kaki yang lebih kencang kami menyusuri jalan menuju pantai pertama. Sambil gotong royong bergantian memikul bekal. Di antaranya ada yang memikul tas kamera, termos nasi, termos ikan yang akan dibakar, bumbu-bumbu, dan perlengkapan lainnya. Dan akhirnya sampailah di sana yakni Pantai Clungup.

Lima Pantai yang Indah

Dengan tanpa henti-hentinya kami bertasbih memuji kebesaran Allah Subhanahu wa Ta’aladi sekitar pesisir pantai. Rasa lelah dan penat akhirnya terbalas dengan keindahan pantai tersebut. Walaupun hanya singgah sebentar. Karena di sana tertanya tidak diperbolehkan mandi, maka kami hanya mengambil panorama alam di pantai itu dengan airnya yang tenang dan pemandangannya yang indah sebelum akhirnya amir rihlah (koordinator perjalanan) -Ust. Abu Sholih, SP. M.PI.- menginstruksikan untuk segera melanjutkan perjalanan mengingat medan yang masih panjang.

Perjalanan terasa lebih ringan dari sebelumnya sebab keindahan Pantai Clungup cukup mengobati rasa capek. Tak lama kemudian, kami sampai di pantai selanjutnya yaitu Pantai Gatra. Sebelumnya kami tiba di sebuah tempat di mana harus menyimpan segala perbekalan. Kecuali barang-barang berharga tidak kami tinggalkan. Setelah menyimpan perlengkapan, kami mendengar gemuruh ombak yang seolah memanggil-manggil. Sehingga membuat kami tak sabar untuk menikmati pemandangannya.

Kemudian kami menuju pantai yang ketiga yaitu Pantai Savana. Karena medan yang lebih curam dan ombak yang lumayan besar. Sehingga memaksa kami untuk tidak turun ke arah pantai. Tetapi tidak ketinggalan untuk mengambil objek gambar alami ciptaan Sang Pemilik Jagat Raya ini, Allah Rabbul ’Aalamin. Dan segera melanjutkan perjalanan kembali.

Kali ini medan yang ditempuh cukup menantang karena dataran yang dilalui semakin meninggi. Sehingga kami pun setengah kewalahan pada saat mendakinya. Namun, kesulitan ini lagi-lagi terbalaskan oleh pemandangan yang terlihat di atas bukit itu. Sejauh mata memandang kami melihat gelombang ombak dari pantai Savana tadi begitu pun gemuruhnya yang seolah menunjukkan keperkasaan pantai tersebut. Saat menikmati perjalanan, salah seorang tour guide kami Mas Joko namanya menginformasikan bahwa sebentar lagi kita akan sampai di pantai selanjutnya yakni Pantai Mini.

Sesuai dengan namanya, saat tiba di pantai tersebut ukuran pantainya memang tidak sebesar Pantai Savana. Dan kami tidak turun pula di sana karena akses jalan menuju sana kurang baik. Di tengah perjalanan, akh. Soepardi bertanya kepada Mas Joko, “Selanjutnya pantai apa Mas?” dia menjawab dengan pasti, “Pantai Batu Pecah mas”. Dengan setengah bergegas kami melangkah karena semakin penasaran dengan pantai tersebut lantaran namanya menarik perhatian kami.

Dan sampailah di pantai yang kami herankan tersebut. Jadi mengapa dinamakan Pantai Batu Pecah karena memang di tengah lautnya terdapat dua buah batu karang besar yang jaraknya berdekatan seolah batu besar yang terbelah menjadi dua bagian. Rasa heran kami akhirnya terjawab sudah.

Pantai yang Dinantikan

15_rihlah_aimmahKami pun segera menuju ke sana. Namun ternyata hanya sekedar mampir sejenak karena amir rihlah mengajak agar segera menuju pantai yang dinantikan. Kurang lebih sepuluh menit saja akhirnya sampai juga di Pantai Tiga Warna. Di sana tampak lebih ramai oleh pengunjung, sebab pantai tersebut adalah tempat utama yang dikunjungi. Kami pun tertegun dengan pesona Pantai Tiga Warna itu. Yang ternyata pengambilan nama tiga warna tersebut rupanya diambil dari warna pasirnya yang coklat muda, pantainya yang hijau, dan lautannya yang biru. Di sana juga tampak beberapa pengunjung yang sedang menikmati dalamnya laut dengan mengenakan pelampung dan kaca mata selam. Kami pikir mereka semua tidak bisa berenang. Ternyata tidak demikian. Karena memang para pengunjung tidak diperbolehkan menginjak terumbu karang yang dilindungi oleh konservator di sana. Dan untuk berenang di sana pengunjung harus menyewa satu paket pelampungnya dengan biaya yang cukup merogoh kocek kantong bagi mahasantri.

Di sisi lain, keindanan pantai ini pun memang mengundang pengunjung lainnya yang notabene orang-orang kurang paham akan batasan agama. Sehingga di antara mereka ada yang rela mengumbar auratnya. Sehingga mudir kami refleks bercanda dengan berkata,“Wah, ini sih bukan tiga warna lagi tetapi empat warna. Warna keempatnya ya… manusia”. Kami pun tertawa mendengarnya.

Destinasi Beralih ke Pantai Gatra

Melihat kondisi di sana yang kurang nyaman seperti itu, amir rihlah memutuskan untuk pindah ke Pantai Gatra saja sebagai tempat akhir tujuan kami. Walaupun sebenarnya kami masih belum puas dengan pemandangan di Pantai Tiga Warna. Akan tetapi amir rihlah lebih memahami kemadhorotan yang ada di sana. Maka kami pun mengikuti instruksi beliau. Dan akhirnya kami singgah di Pantai Gatra. Di sana kami bebas berenang secara gratis tanpa biaya sewa dan dibatasi waktu. Dengan ombaknya yang cukup besar membuat adrenalinterpacu. Namun, sebelum itu kami menunaikan Sholat Zhuhur dan Ashar berjama’ah di sekitar pantai secara jamak. Ini sengaja dilakukan juga sebagai ihya’ussunnah(menghidupkan sunnah).

Setelah itu, kami menerima nasihat kembali dari mudir dan beberapa aturan rihlah agar tetap teratur selama rihlah. Seusai pengumuman, kami berkumpul untuk saling berbagi makanan ringan dari masing-masing anggota kelompok. Setelah makanan habis, tibalah agenda yang paling kami tunggu yaitu berenang. Suasana semakin riuh saat kami turun ke pantai. Kami pun berenang bersama menikmati keindahan pantainya. Termasuk amir rihlah dan mudir. Di sana kami tidak merasa ada jarak sebagaimana biasanya di ma’had. Karena kebersamaan itulah yang menyatukan kami. Dan inilah salah satu tujuan rihlahnya yaitu untuk memperkuat ukhuwah di antara para mahasantri dan ustadz.

Memancing Ikan Melawan Ombak

Di tengah keceriaan kami saat berenang, tiba-tiba terlihat dari kejauhan sekelompok lain menggotong seseorang yang ternyata adalah Ust. Sulaiman Yusuf. Beliau merasa keram di kakinya. Kami juga berusaha menolongnya. Setelah beberapa detik beliau tersenyum kembali pertanda ingin melanjutkan renangnya. Sehingga kami kembali berenang bersama. Sementara yang lain ada yang memancing ikan di sekitar tepi pantai.

Mereka yang memancing tak menyerah begitu saja setelah beberapa kali gagal. Secara bergantian meraka penasaran untuk berusaha menarik perhatian ikan dengan umpan keong-keong laut di sekitar pantai. Akh. Wahyu, akh. Rudi, dan akh. Hamdan masih tampak mengernyitkan dahi karena belum juga dapat ikan. Walaupun sebenarnya amir sudah memanggil kami agar menyudahi kegiatan renang untuk melanjutkan agenda selanjutnya yaitu membakar ikan. Sementara itu teman-teman yang memancing masih tampak sibuk dengan usahanya yang tidak mudah karena harus melawan gelombak ombak yang cukup besar.

Di sana ada teman-teman yang masih sibuk dengan kail pancingnya. Melihat teman yang lain gagal, akh. Mustajib pun penasaran ingin mencoba menarik perhatian ikan juga. Dan ternyata dialah orang yang pertama kali berhasil mendapatkan ikan. Hingga yang lain pun penasaran untuk mencoba juga. Mulai dari akh. Saiful, akh. Rudi, Ust. Saifullah al-Hafizh, sampai mudir kami Ust. Agus Hasan Bashori, Lc. M.Ag. pun berhasil memancing ikan. Di sisi lain, beliau juga getol mengajari putranya Hamzah cara mengapung di atas air. Dengan semangat beliau memotivasi putranya tanpa kenal lelah. Begitulah wujud kasih sayang seorang ayah.

16_rihlah_aimmah

11_rihlah_aimmah

 

 

 

 

 

 

 

Ikan Bakar Perekat Ukhuwah

Beranjak ke tempat semula kami berkumpul. Di sanalah kami membakar ikan yang telah disiapkan sedari pagi. Ada juga di antara kami yang saling berbagi mengirimkan hasil fotonya dengan smart phone. Dan agenda membakar ini juga merupakan acara inti kedua setelah puas berenang. Karena cocok sekali saat badan lelah dan perut lapar kemudian makan bersama. Walaupun harus agak lama menunggu hasil ikan bakarnya.

Setelah hampir usai dari pembakarannya. Sebagian ada yang meracik bumbu, sebagian lainnya ada yang menyiapkan tempat untuk menu utama, ikan bakar. Walaupun sebenarnya rasa lapar sudah menghampiri kami. Tetapi demi kebersamaan kami relakan menahan rasa lapar. Dan beberapa menit kemudian jadilah ikan bakarnya. Dengan aromanya yang sedap semakin mengundang rasa lapar dan membuat kita mendekat pada ikan bakarnya.

Di atas daun pisang yang dihamparkan di atas tanah, nasi, sambal, lalapan, dan ikan Tuna bakar selagi hangat disajikan. Dengan taburan sambal kacang yang cukup pedas seolah membakar selera makan. Kami pun mulai makan bersama tentunya diawali dengan membacabasmalah. Di sini semakin terasa kebersamaan antara para mahasantri dan ustadz. Setelah puas menyantap ikan Tuna bakar yang kami buat. Akh Anwar mencoba membakar salah satu ikan hasil tangkapan teman-teman. Namun ada yang lucu. Saat akan membakar ikan, dia lupa tidak menyisik dan mengeluarkan jeroannya terlebih dahulu. Malah langsung menceburkannya ke atas bumbu. Mungkin karena rasa lapar yang tak tertahankan, ia tega menceburkan ikannya hidup-hidup ke atas bumbu maka tak heran jika ikan tersebut meloncat-loncat kepedihan di atas bumbu yang becampur tetesan air jeruk penghilang bau amis. Sehingga membuat kami tertawa geli dibuatnya.

12_rihlah_aimmah13_rihlah_aimmah

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Pantai Clungup Jadi Lapangan Bola

Tak berapa lama kemudian acara makan-makan berakhir. Setelah berkemas-kemas, amir mengabsen satu per satu anggotanya. Setelah lengkap, kami melangkah kembali menuju pos utama tadi. Benar saja, di sana ada petugas yang sudah siap mengecek sampah-sampah yang telah kami bungkus rapi. Dengan teliti petugas mengecek sampah-sampah itu. Sampai akhirnya lengkap di-check list satu per satu. Kemudian kami lanjutkan perjalanan. Namun, sebelum tiba di tempat parkir, kami diseru agar renang kembali di Pantai Clungup. Padahal seingat akh. Soepardi yang dikatakan Mas Joko bahwa sebenarnya pantai itu akan surut jika menjelang siang. Bahkan terkadang digunakan untuk bermain bola. Seolah tak percaya kami pun penasaran dengan perkataannya. Akhirnya baru terbukti ketika kami benar-benar sampai kembali di sana. Dan apa yang terjadi? Ternyata airnya memang telah surut. Yang ada hanyalah bentangan pasir dengan guratan indahnya karena terkena hembusan gelombang ombak. Dan mudir pun akhirnya menyayangkannya.

Akan tetapi, kami pun tak kalah senang. Karena kami dapat mengambil foto pemandangan pantai tersebut dalam keadaan sudah surut airnya. Di antara kami ada juga yang mengambil keong-keong yang lucu nan menggemaskan. Akhirnya kami harus meninggalkan pantai indah itu mengingat waktu sudah menjelang sore.

Kehilangan Hand Phone

Beberapa menit kemudian, kami tiba di tempat parkir. Di sana kami menunggu kabar mobil kelompok empat yang mogok tadi pagi. Dan ternyata untuk menuju ke bengkel itu kami harus menyewa mobil lain karena mobil yang ada sudah tidak cukup muatan. Sementara angkot juga sudah tidak beroperasi mengingat waktu telah menjelang maghrib. Sehingga anggota kelompok yang tadi naik angkot pun harus sabar menunggu kembali. Amir pun telah menyewa mobil pick-up untuk menuju ke bengkel. Akan tetapi, sebelum kami naik mobil tersebut teman kami akh. Yusuf kehilangan hand phone. Sampai akhirnya kami pun membantu mencari di sekitar tempat parkir. Namun tetap tidak ditemukan. Sementara akh. Sulaiman berusaha menenangkannya dengan berkata, “Sudah ikhlaskan saja akhi, walaupun antum sebenarnya mencintai hp antum. Allah akan mengganti yang lebih baik lagi”. Terlihat ia begitu menyesali atas keteledorannya.

Setelah semuanya siap naik mobil. Kami berangkat menuju bengkel untuk mengambil mobil yang mogok tadi. Sesampainya di sana, tiba-tiba akh. Yusuf merasa yakin kalau hp-nya masih ada. Seingat dia mungkin tertinggal di mobil kelompok satu. Karena sebelumnya ia duduk di dalamnya saat menuju tempat untuk menunggu mobil pick-up. Dan benar saja. Dia menemukan hp-nya di bawah jok mobil paling belakang sebelah kiri. Dia pun senang karena ternyata hp-nya tidak hilang. Walaupun sudah dalam keadaan tidak karuan. Kotor karena terinjak-injak teman yang lain. Dia seakan berjanji agar tidak mengulangi keteledorannya itu.

Kami pun melanjutkan perjalanan. Dan tak jauh dari tempat tadi, kami berhenti di masjid untuk menunaikan Sholat Maghrib dan ‘Isya secara jamak. Setelah itu, kami pulang dalam keadaan badan lelah dan mata yang sangat mengantuk. Kecuali para rois kelompok karena mereka harus stand by menyetir mobilnya masing-masing.

Beberapa menit kemudian sampailah di ma’had tercinta. Dengan dilanjutkan makan malam bersama. Sebelum akhirnya kami pergi ke kamar masing-masing. Demikianlah petualang menuju Pantai Tiga Warna. Walaupun lelah namun menyenangkan. Karena dari sana kami mendapatkan banyak pelajaran. Di antaranya yaitu kepedulian, kebersamaan, kegembiraan, ketaatan, dan tadabbur ‘alam. Sungguh betapa agungnya ayat-ayat Allah yang terdapat di alam ini. Subhanallah…..


Oleh: Yusuf Supriyadi ibn Hasanuddin –Mahasantri Ma’had Aliy al-Aimmah tingkat III-

 

Tampilkan Lebih Banyak

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Back to top button